Kepribadian Seorang Konselor
Kepribadian
seorang konselor merupakan faktor yang paling penting dalam konseling.
Seperti yang dinyatakan Perez, “temuan penelitian menunjukan bahwa pengalaman,
orientasi teoritis yang digunakan bukanlah penentu utama efektivitas seorang terapis,
akan tetapi kualitas pribadi konselor, bukan pendidik dan pelatihannyasebagai
criteria dalam evaluasi keefektifannya.”
Kepribadian
konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi sebagai penyeimbang antara
pengetahuan mengenai dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik.Ketika titik
tumpu ini kuat, pengetahuan dan keterampilan bekerja secara seimbang dengan
kepribadian yang berpengaruh pada perubahan perilaku positif dalam konseling.
Namun, ketika titik tumpu ini lemah, yaitu dalam keadaan kepribadian konselor
tidak banyak membantu, maka penegetahuan dan keterampilan konselor tidak akan
efektif digunakan, atau akan digunakan dalam cara – cara yang merusak. Kualitas
kepribadian konselor, pengetahuan mengenai perilaku, dan keterampilan
konseling, masing – masing tidak dapat saling menggantikan.Kepribadian yang
baik tetapi dengan kekurangan pengetahuan dan keterampilan ibarat seorang supir
yang mengendarai tidak aman.
Keyakinan
bahwa kepribadian konselor merupakan kunci yang berpengaruh dalam hubungan konseling,
Akan tetapi kepribadian konselor tidak dapat mengganti kekurangan pengetahuan
tentang perilaku dan keterampilan terapeutik. Kualitas kepribadian tidak sama
dengan proses perolehan pengetahuan tentang perilku dan keterampilan
terapeutik. Kualitas kepribadian berkembang dari perpaduan yang terjadi terus
menerus antara genetika, konstitusi, pengaruh lingkungan, dan cara – cara unik
dalam memadukan semua itu sehingga menjadi pribadi yang khas.
Pendidikan dan pelatihan lebih berpengaruh pada pertumbuhan secara kuantitaif
dari pada kualitatif, Atau dengan kata lain, Pendidikan dan pelatihan
tidak banyak membantu orang untuk berembang menjadi dirinya sendiri. Dalam
rangka menumbuh kembangkan karakter konselor professional menuju tradisi nilai
untuk dinilai dibutuhkan tiga proses berkelanjutan, yaitu :
- Menggali nilai – nilai karakter
konselorprofesional yang dibutuhkan.
- Implementasi tradisi nilai ke
dalam proses pembelajaran
- Evaluasi Brand image :
menuju tradisi nilai untuk dinilai.
Menumbuh-kembangkan
karakter konselor professional merupakan upaya perjalanan budaya akademik
dimana tradisi nilai yang dihidupkan menjadi pedoman atau pegangan bersama
civitas akademik konseling didalam institusinya.
Dalam
kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang
pendidik psikologis (psychological educator/psychoeducator), dengan
perangkat pengetahuan dan keterampilan psikologis yang dimilikinya untuk
membantu individu mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi.Peran ini merepresentasikan
sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-tujuan keilmuan dan praktik
profesional konselor sebagai layanan yang menunjukkan keunikan dan kebermaknaan
tersendiri di dalam masyarakat (ABKIN, 2008).
Konteks
tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan
mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan
keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang
produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum.Pelayanan dimaksud
adalah pelayanan bimbingan dan konseling (Permendiknas, nomor 27 tahun 2008).
Dalam
konsep bimbingan dan konseling komprehensif, konselor akan dihadapkan
kepada individu yang sedang menjalani tahap perkembangan tertentu dengan
tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya. Karena itu, peran konselor
dalam kegiatan bimbingan dan konseling tidak hanya membantu memecahkan masalah
siswanya.
Selain
itu konselor sekolah dilihat dari fungsi dan peranannya melalui penelitian
Stinzi dan Hutcheon (Aisyah, 2006: 18) menunjukkan bahwa peranan konselor
sekolah menurut harapan siswa adalah: (1) menjadi sumber informasi karir atau
lowongan dan karir kerja, (2) terbuka untuk diskusi masalah pribadi-sosial, (3)
tidak menjadi petugas disiplin (disiplinarian), namun terbuka
untuk konsultasi masalah-masalah disiplin, (4)
mengijinkan siswa untuk mengambil keputusan sendiri, (5) menjadi orang yang
dapat dipercaya oleh siswa, (6) memberikan oreintasi kepada siswa baru,
(7) mendorong terciptanya kebijakan yang terbuka.
Di
antara kompetensi konselor, yang paling penting adalah kualitas pribadi
konselor karena konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan
jati dirinya secara utuh, tepat, dan berarti serta membangun hubungan
antarpribadi (interpersonal) yang unik dan harmonis, dinamis,
persuasif dan kreatif sehingga menjadi motor penggerak keberhasilan layanan
bimbingan dan konseling. Dalam hal ini, Corey (1986: 358-361),
menyatakan “alat” yang paling penting untuk dipakai dalam pekerjaan seorang
konselor adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (our self as a person).
Pada bagian dari tulisannya itu, ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa “… para
konselor hendaknya mengalami sebagai konseli pada suatu saat, karena pengenalan
terhadap diri sendiri bisa meinaikkan tingkat kesadaran (self awarness)”konselor.
Brammer
(1979: 4) mendeskripsikan kualifikasi konselor sekolah sebagai pribadi memiliki
sifat-sifat dan sumber kepribadian seperti memiliki perhatian pada orang lain,
bertanggung jawab, empati, sensitivitas dan sebagainnya. Menurut Furqon
(2001) ditemukan bahwa konselor sekurang-kurangnya perlu memiliki tiga
kompetensi, di samping perlu dukungan kondisi yang kontekstual dan lingkungan,
yaitu kompetensi pribadi (personal competencies), kompetensi inti (core
competencies), dan kompetensi pendukung (supporting competencies).
Kompetensi
pribadi (personal competencies) merujuk kepada kualitas
pribadi konselor yang berkenaan dengan kemampuan untuk membina hubungan baik
antarpribadi (rapport) secara sehat, etos kerja dan komitmen
profesional, landasan etik dan moral dalam berperilaku, dorongan dan semangat
untuk mengembangkan diri, serta berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
pemecahan masalah.
Pribadi
konselor merupakan ‘instrumen’ yang menentukan bagi adanya hasil yang positif
dalam proses konseling. Kondisi ini akan didukung oleh keterampilan konselor
mewujudkan sikap dasar dalam berkomunikasi dengan konselinya. Pemaduan secara
harmonis dua instrumen ini (pribadi dan keterampilan) akan memperbesar peluang
keberhasilan konselor.
Untuk
dapat melaksanakan peranan profesional yang unik dan terciptanya
layanan bimbingan dan konseling secara efektif, sebagaimana adanya
tuntutan profesi, konselor harus
memiliki kualitas pribadi.Keberhasilan konseling lebih tergantung
pada kualitas pribadi konselor dibandingkan kecermatan teknik. Mengenai ini,
Tyler (1969) menyatakan: “…success in counseling depend more upon
personal qualities than upon correct use of specified techniques”. Pribadi
konselor yang amat penting mendukung efektivitas perannya adalah pribadi yang
altuistis (rela berkorban) untuk kepentingan konseli.
Brammer
juga mengakui adanya kesepakatan helper tentang pentingnya
pribadi konselor sebagai alat yang mengefektifkan proses konseling, ia
mengatakan: “A general dictum among people helpers says that if I want
to become more affective I must begun with my self; own personalities thus the
principal tools of the helping process…” ( Brammer, 1979: 25).
Kemudian
Hobbs menyatakan bahwa: “idealnya sebagai seorang konselor adalah memiliki
pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam mewujudkan kemampuan dalam
hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari dunia lingkungannya, mau
menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat berdaya cipta secara luas dan
tidak terbatas dalam pandangan profesionalnya”, Hanset, et.al. (Benyamin, 1995:
27).
Adapun
yang dimaksud kualitas pribadi konselor adalah kriteria yang menyangkut segala
aspek kepibadian yang amat penting dan menentukan keefektifan konselor jika
disbandingkan dengan pendidikan dan latihan yang diperolehnya (Willis, 2004:
79).
Allport
(Blocher, 1974: 93-94) menggambarkan hakikat pribadi yang matang secara
psikologis adalah sebagai berikut.
- Memiliki kesadaran yang cukup
luas tentang diri sendiri dan orang lain. Maksudnya adalah memilki kasih
sayang, mempunyai kecenderungan seks yang sehat, sadar akan kekuatan
sendiri, namun juga mempunyai kesadaran untuk tunduk dan menghargai orang
lain.
- Hangat dalam hubungan
dengan individu lain. Individu yang matang dapat menciptakan dan
memelihara keintiman dan kecintaan terhadap orang lain. Hubungan antar
pribadinya ditandai oleh empati dan keharuan.
- Emosi stabil. Kematangan
emosional timbul dari penerimaan dirinya, dengan kematangan emosional
seseorang dapat memelihara pandangan yang realistik dan melakukan
pengawasan terhadap tata alur “sinyal-sinyal” perasaan.
- Realistik dalam persepsi,
keterampilan, dan pekerjaan. Tiap individu yang matang dapat berfungsi
secara efisien dalam wilayah persepsi dan kognisi, dalam arti memiliki
perilaku intelektual yang realistik dan akurat. Di samping itu dapat
memfokuskan energinya pada pekerjaan yang cocok dengan perkembangannya.
- Realistik terhadap diri dan
wawasan. Individu yang matang dapat mengerti dirinya.
- Mempunyai kesatuan pendekatan
mengenai kehidupan. Tiap individu yang matang mampu menyusun beberapa
kesatuan pendekatan menghadapi kehidupan, sehingga memeberikan konsistensi
dan arti bagi tingkah lakunya.
Konselor
sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati dirinya secaran utuh, tepat, dan
berarti serta mampu membangun hubungan antarpribadi(interpersonal)
yang unik dan harmonis, dinamis, persuasif, dan kreatif, sehingga menjadi
motor penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Corey (1986:
358-361) menyatakan bahwa “alat” yang paling penting untuk dipakai dalam
pekerjaan seorang konselor adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (your
self as a person). Bahkan pada bagian lain dari tulisannya itu
ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa:” …para konselor hendaknya mengalami
sebagai konseli pada suatu saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri dapat
menaikkan tingkat kesadaran diri (self awareness)”.
- Pengetahuan Mengenai Diri
Sendiri
Pengetahuan
diri sendiri (self knowledge) mempunyai makna bahwa konselor mengetahui
secara baik tentang dirinya, apa yang dilakukan, mengapa melakukan itu, masalah
yang dihadapi, dan masalah klien yang terkait dengan konseling. Pentingnya
pengetahuan konselor tentang dirinya sendiri dengan alasan, pertama, seorang
konselor yang mengetahui persepsi dirinya dengan baik cenderung mengetahui
persepsi diri klien yang sedang dibantu. Kedua, keterampilan konselor
yang digunakan untuk memahami dirinya adalah keterampilan yang sama untuk memahami
diri klien. Dengan demikian semakin besar kemampuan yang dimiliki, semakin
besar pulakemungkinan untuk memahami klien.Ketiga, konselor yang
telah memiliki keterampilanyang digunakan untuk memahami diri sendiri
memungkinkan konselor mengajarkan kepada klien. Keempat, pengetahuan
diri sendiri memungkinkan konselor merasakan dan berkomunikasi secara baik
dengan klien. Kualitas konselor yang tinggi, tingkat pengetahuannya terhadap
diri sendiri, menunjukan karakteristik sebagai berikut :
- Menyadari Kebutuhannya. Sebagai konselor, harus mengenal bahwa mereka
menyadari akan kebutuhan yang harus dicapai, seperti merasa penting,
merasa dibutuhakan, memiliki kelebihan, terkendali, memiliki kekuasaan dan
tegas.
- Menyadari Perasaannya. Perasaan terluka, takut, marah, bersalah, mencintai
atau seks, menjadi bagian dari respon sebagai konselor dalam konseling.
Kondisi perasaan itu akan banyak berpengaruh terhadap situasi hubungan
konseling. Oleh karena itu, konselor harus menyadari dan mampu
mngendalikannya selama konseling berlangsung.
- Menyadari apa yang membuat
cemas selama konseling, dan cara yang harus dilakukan untuk mengurangi
kecemasan. Dalam konseling sering terjadi
serangan terhadap konselor yang dapat menimbulkan kecemasan seperti
pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan, seksualitas, moral, nilai –
nilai terapeutik, dsb. Konselor harus menyadari pertahanan yang dilakukan
untuk menghindari kecemasan seperti : pasif atau dominan; berharap klien
akan merasa bersalah dan menghentikan serangan; mengubah topic; segera
menjadi nondirektif dan reflektif;mencaci;menyalahkan, atau
menakut-nakuti.
- Menyadari kelebihan dan
kekurangan diri. Kesadaran akan kelebihan dan
kekurangan diri akan membantu konselor dalam mengefektifkan hubungan
konseling. Dengan kelebihannya, konselor dapat meningkatkan wibawa dan
pengaruhnya terhadap klien, sementara kesadaran akan kelemahan mendorong
konselor untuk senantiasa memperbaiki diri.
Suatu
hambatan yang sering terjadi dalam mewujudkan pengetahuan tentang diri sendiri
adalah konselor menggunakan pertahanan yang sama dilakukan oleh klien
dalam melindungi diri sendiri dari ketepatan memandang dirinya dan
pekerjaannya.
- Kompetensi
Kompetensi
(competence) mencakup aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien.Kompetensi ini sangat
penting bagi konselor, karena klien datang pada konseling untuk belajar dan
mengembangkan potensi yang dibutuhkan untuk mencapai hidup yang lebih efektif
dan bahagia.Peranan seorang konselor ialah untuk mengajarkan semua kompetensi
ini kepada klien.Oleh karena itu maka banyak kompetensi yang dimiliki konselor,
makin besar kemungkinan konselor dapat membantu klien baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam memperoleh kompetensi hidup.
Hal
yang mebedakan hubungan persahabatan dengan hubungan konseling adalah pada
kompetensi konselor. konselor yang efektif memiliki kombinasi kompetensi
pengetahuan akademik, kualitas kepribadian, dan keterampilan membantu.
Seorang
konselor yang senantiasa berusaha menjadi lebih kompeten memiliki ciri –
ciri : (a) secara berkelanjutan senantiasa berusaha meningkatkan
pengetahuan tentang perilaku dan konseling antara lain melalui bacaan,
menghindari konferensi atau seminar, mengikuti pelatihan, berdiskusi dengan
rekan sejawat, (b) senantiasa mencari – mencari pengalaman – pengalaman hidup
yang baru yang dapat membantunya meningkatkan kompetensi dan mempertajam
keterampilannya, (c) senantiasa mencoba berbagi gagasan dan pendekatan dalam
konseling, (d) senantiasa melakukan penilaian dalam setiap langkah konseling
untuk mencapai keefektifan konseling. Peningkatan kompetensi konselor sering
terhambat oleh adanya mitos bahwa tingkatan akademik dan jumlah pengalaman akan
secara otomatis meningkatkan kualitas seorang menjadi konselor yang efektif.
Unjuk
kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat
komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan
pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara
terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional.
- Kompetensi Pedagogik
Konselor
rehabilitasi disyaratkan memiliki kompetensi pedagogik, sebab konseling
rehabilitasi tidak bisa dilakukan dengan melepaskan diri dari ilmu-ilmu
dan praktik pedagogik. Karena itu konselor rehabilitasi harus memiliki:
(1)
penguasaan teori dan praktik pendidikan, seperti penguasaan (a) ilmu pendidikan
dan landasan keilmuannya, (b) implementasi prinsip-prinsip pendidikan dan
proses pembelajaran; serta (c) landasan budaya dalam praktik pendidikan.
(2)
Konselor rehabilitasi harus memahami kaidah-kaidah perkembangan fisiologis dan
psikologis serta perilaku konseli disabiliti, terutama berkaitan dengan
kaidah-kaidah: (a) perilaku manusia pada umumnya, (b) perkembangan fisik dan
psikologis individu, (c) kepribadian, (d) individualitas dan perbedaan
konseli, (e) keberbakatan, (f) kesehatan mental dan (g) pembelajaran bagi
konseli disabiliti;
(3)
Konselor rehabilitasi harus menguasai esensi pelayanan konseling bagi konseli
disabiliti dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan, baik pada satuan
jalur pendidikan formal, nonformal dan informal maupun pada satuan jenjang
pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
- Kompetensi Kepribadian
Konselor
adalah sosok yang harus mampu menampilkan diri sebagai pendidik, pengajar,
penasihat, teman diskusi, bahkan menjadi lawan berdebat manakala
konselinya menunjukkan kecenderungan berpikir yang irasional, tidak
kongruen antara pikiran dan perbuatan bahkan mungkin saat konseli tidak
menunjukkan sebagai individu yang memiliki komitmen dan bertanggung jawab.
Menteri Pendidikan Nasional, melalui Permendiknas nomor 27 tahun 2008 merinci
kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor, yaitu sebagai berikut: (1)
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, di dalamnya terkandung: (a)
menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(b) konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk
agama lain, (c) berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur; (2) Menghargai
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan, di
dalamnya mengandung kemampuan konselor dalam: (a) mengaplikasikan pandangan
positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral,
sosial, individual, dan berpotensi, (b) menghargai dan mengembangkan potensi
positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya, (c) peduli
terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada
khususnya, (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak
asasinya,(e) toleran terhadap permasalahan konseli, (f) bersikap demokratis;
(3)
Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat, yaitu dengan : (a)
menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur,
sabar, ramah, dan konsisten), (b) menampilkan emosi yang
stabil, (c) peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan,
(d) menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang menghadapi
stres dan frustrasi; (4) menampilkan kinerja berkualitas tinggi, seperti:
(a) menampilkan
tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif, (b) bersemangat,
berdisiplin, dan mandiri, (c) berpenampilan menarik dan menyenangkan,
serta (d) berkomunikasi secara efektif.
- Kompetensi Sosial
Bagi
seorang konselor rehabilitasi, kompetensi sosial tidak hanya merupakan dasar
kemampuan untuk menjalin hubungan bantuan dengan konseli, akan tetapi bagi
semua komponen yang memiliki keterkaitan dengan pekerjaan rehabilitasi dan
kepentingan konseli serta lingkungannya. Artinya kompetensi sosial tidak hanya
dibutuhkan untuk membangun hubungan bantuan dalam membuat rencana kehidupan
konseli disabiliti tetapi diperlukan untuk mengembangkan jejaring dalam upaya
meningkatkan efektivitas kinerjanya. Konselor yang memiliki kompetensi sosial
dengan baik akan menunjukkan kemampuan: (1) kolaborasi intern di tempat
bekerja, dengan (a) memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak
lain dalam konseling rehabilitasi; (b) mengkomunikasikan dasar,
tujuan, dan kegiatan pelayanan konseling rehabilitasi kepada pihak-pihak lain,
baik di tempat bekerja maupun kepada masyarakat luas; (c) bekerja sama
dengan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan konseling rehabilitasi (seperti
pendidik, orang tua, dokter, psikolog, rokhaniawan, masyarakat, organisasi
komunitas disabiliti dan organisasi profesi lain);
(2)
Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling. Dalam
aspek ini konselor dituntut untuk: (a) memahami dasar, tujuan, anggaran dasar
dan anggaran rumah atangga organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk
pengembangan diri dan profesi, (b) mentaati kode etik profesi bimbingan dan
konseling, (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk
pengembangan diri dan profesi; (3) berkolaborasi dengan profesi lain, yaitu
dalam: (a) mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling
kepada organisasi profesi lain, (b) memahami peran organisasi profesi lain dan
memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling, (c) bekerja
dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain,
dan (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai dengan
keperluan.
- Kompetensi Profesional
Konseling rehabilitasi bukan hanya pekerjaan teknis yang memerlukan penguasaan
teknik dan keterampilan konseling, tetapi sebagai salah satu frame work
bagi pengembangan pribadi individu baik konseli maupun konselor. Kuat tidaknya
landasan filosofis yang memaknai manusia, landasan psikologis yang memberikan
pemahaman terhadap keunikan manusia, landasan sosial budaya yang memberikan
pemahaman tentang kultur, nilai dan moral individu dan kelompoknya, serta
landasan religi yang memberikan pemahaman manusia tentang akidah serta nilai
keagamaan yang dianutnya akan memberikan warna dan dampak yang sangat jelas
dalam tujuan dan hasil konselingnya.
Kompetensi profesional meliputi pemahaman dan penghayatan mendalam seorang konselor
rehabilitasi mengenai filsafat profesi atau kepakaran di bidang konseling
rehabilitasi yang berkenaan dengan aspek religi, sosial budaya maupun
aspek-aspek psikologisnya. Kompetensi ini hendaknya merupakan seperangkat
perilaku nyata yang ditunjukkan oleh seorang konselor profesional dalam
melaksanakan tugas atau pekerjaan profesional atau keahliannya. Sebab tinggi
dan rendahnya kualitas profesional seorang konselor akan berdampak langsung
terhadap tinggi dan rendahnya pengakuan masyarakat luas dan imbalan yang akan
diterimanya. Dengan kata lain, seorang konselor profesional akan selalu
menjaga kualitas kinerja dan nama baik pribadi dan profesinya (Suherman AS,
2006).
- Kesehatan psikologis yang baik
Kesehatan
psikologi yang baik akan mendasari pemahaman perilaku dan keterampilan dan pada
gilirannya akan mengemabangkan satu daya yang positif dalam konseling.
Karakteristik konselor yang memiliki kesehatan psikologis yang baik antara lain
: (a) mencapai pemuasan kebutuhan seperti rasa aman, cinta memelihara,
kekuatan, seksual, dan perhatian diluar hubungan konseling. (b) tidak membawa
pengalaman masa lalu dan masalah pribadi di luar konseling kedalam
konseling.(c) menyadari titik penyimpangan dan kelemahan yang dapat membantu
mengenal situasi yang terkait dengan masalahm (d) tidak hanya mencapai
kelestarian hidup, tetapi mencapai kehidupan dalam kondisi yang baik.
salah
satu kendala yang timbul adalah konselor membiarkan ketakutan dan ketidakpuasan
atas kehidupan pribadinya menjadi satu komunitas samara dalam konseling.
- Trustworthiness (Dapat
Dipercaya)
Kualitas
Ini berarti bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan
bagi klien.Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam
konseling, karena beberapa alasan, yaitu sebagai berikut.
- Esensi tujuan konseling adalah
mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam.
Dalam hal ini, klien harus merasa bahwa konselor itu dapat memahami dan
mau menerima curahan hatinya (curhatnya) dengan tanpa penolakan. Jika
klien tidak memiliki rasa percaya ini, maka rasa frustrasi lah yang
menjadi hasil konseling.
- Klien dalam konseling perlu
mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien percaya
bahwa konselor mempunyai motivasi untuk membantunya.
- Apabila klien mendapat
penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam
dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
Konselor
yang dipercaya cenderung memiliki kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
- Memiliki pribadi yang konsisten
- Dapat dipercaya oleh orang
lain, baik ucapannya maupun perbuatannya
- Tidak pernah membuat orang lain
(klien) kecewa atau kesal
- Bertanggung jawab, mampu
merespon orang lain secara utuh, tidak inkar janji, dan mau membantu
secara penuh.
- Honesty
(Jujur)
Yang
dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu harus sejati dalam
penampilannya, bersikap transparan (terbuka), autentik, dan asli
(genuine). Sikap jujur ini penting dalam konseling, karena alasan-alasan
berikut.
- Sikap keterbukaan memungkinkan
konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang lebih dekat
satu sama lainnya di dalam proses konseling. Konselor yang menutup atau
menyembunyikan bagian-bagian dirinya terhadap klien dapat menghalangi
terjadinya relasi yang lebih dekat. Kedekatan hubungan psikologis
sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang
langsung dan terbuka antara konselor dengan klien. Apabila terjadi
ketertutupan dalam konseling dapat menyebabkan merintangi perkembangan
klien.
- Kejujuran memungkinkan konselor
dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien.
Konselor
yang jujur memiliki karakteristik sebagai berikut.
- Bersikap kongruen, artinya
sifat-sifat dirinya yang dipersepsi oleh dirinya sendiri (real self)
sama sebangun dengan yang dipersepsi oleh orang lain (public self).
- Memiliki pemahaman yang jelas
tentang makna kejujuran.
- Strength
(Kekuatan)
Kekuatan
atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu
klien akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai orang yang (a) tabah
dalam menghadapi masalah, (b) dapat mendorong klien untuk mengatasi
masalahnya, dan (c) dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor
yang memiliki kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku
berikut.
- Dapat membuat batasan waktu
yang pantas dalam konseling.
- Bersifat fleksibel
- Memiliki identitas diri yang
jelas.
- Warmth
(Bersikap Hangat)
Yang
dimaksud bersikap hangat itu adalah : ramah, penuh perhatian, dan memberikan
kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang
kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan
untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui
konseling, klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing”
dengan konselor.Apabila hal itu diperoleh, maka klien dapat mengalami perasaan
yang nyaman.
- Actives
responsiveness
Keterlibatan
konselor dalam proses konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon
yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap
kebutuhan klien. Disini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan
umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna, mengemukakan
gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan klien tentang cara mengambil
keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses
konseling.
- Patience
(Sabar)
Melalui
kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk
mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan lebih
memperhatikan diri klien daripada hasilnya.Konselor yang sabar cenderung
menampilkan kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
- Sensitivity (kepekaan)
Kualitas
ini berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang
tersembunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik pada diri klien maupun
dirinya sendiri.
Klien
yang datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah
yang sebenarnya mereka hadapi.Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya
bermasalah.Pada diri mereka hanya nampak gejala-gejalanya (pseudo masalah),
sementara yang sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor
yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa masalah sebenarnya
yang dihadapi klien. Konselor yang sensitif memiliki kualitas perilaku berikut.
- Sensitif terhadap reaksi
dirinya sendiri
- Mengetahui kapan, dimana, dan
berapa lama mengungkap masalah klien (probing)
- Mengajukan pertanyaan tentang
persepsi klien tentang masalah yang dihadapinya
- Sensitif terhadap sifat-sifat
mudah tersinggung dirinya.
- Holistic awareness (Kesadaran
Holistik)
Pendekatan
holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan
tidak mendekatinya secara serpihan.Namun begitu bukan berarti bahwa konselor
sebagai seorang ahli dalam segala hal, disini menunjukkan bahwa konselor perlu
memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami
bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi
itu meliputi : fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor
yang memiliki kesadaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai
barikut.
- Menyadari secara akurat tentang
dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks
- Menemukan cara memberikan
konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan tentang perlunya referal
(rujukan)
- Akrab dan terbuka terhadap
berbagai teori.
Dalam perkembangan terkini, disamping karakteristik sebagaimana telah
dikemukakan, para pakar mengemukakan bahwa kearifan merupakan satu kualitas
kepribadian konselor efektif.Beberapa tokoh yaitu Fred J.Hanna, Fred Bemak,
dll.Hanna dan Ottnes menyatakan bahwa kualitas manusia termasuk kearifan
merupakan gambaran konselor efektif, sebagai lawan dari konselor yang kurang
efektif.Pengertian kearifan itu sendiri, yaitu dapat didefinisikan sebagai
suatu perangkat kognitif dan afektif tertentu yang secara langsung terkait pada
pemilikan dan perkembangan keterampilan dan pemahaman hidup yang diperlukan
untuk kehidupan yang baik, pemenuhan penyesuaian yang efektif, dan tilikan
terhadap hakikat diri, orang lain, lingkungan dan interaksi antar pribadi.
Baltes dan smith (1990) mendefinisikan kearifan sebagai
‘pengetahuan ahli’ dalam ‘paradigma hidup yang mendasar’ dan melibatkan
‘tilikan istimewa kedalam perkembangan manusia dan masalah – masalah hidup’
sebagaimana halnya ‘ keistimewaan timbangan yang baik’ dalam konteks
perencanaan hidup, tinjuan hidup, dan manajemen hidup’. Arlin (1990)
melaporkan bahwa penerapan kearifan dalam pemecahan masalah sebagai kecakapan
untuk mengidentifikasi pemecahan masalah secara benar dalam kerangka yang
sempurna, sehingga pemecahan masalah tidak memunculkan masalah yang lebih
banyak.
Evaluasi
secara sederhana bisa dirujuk dari pendapat surya(2003) bahwa kualitas
profesionalisme dirunjuk oleh lima unjuk kerja sebagai berikut :
- Keinginan untuk selalu
menampilkan perilaku yang standar ideal berdasarkan criteria ini jelas bahwa
konselor yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha
mewujudkan dirinya sesuai dengan standar ideal. Ia akan mengidentifikasi
dirinya kepada figure yang dipandang memliki standar ideal.
- Meningkatkan dan memelihara
citra profesi. Profesionalisme yang tinggi ditunjukan oleh besarnya
keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi melalui
perwujudan perilaku profesional. Perwujudan ini dilakukan melalui berbagai
cara seperti penampilan, cara berbicara, penggunaan bahasa, postur, sikap
hidup sehari – hari, hubungan antar pribadi dan sebagainya.
- Mengejar kualitas dan cita –
cita dalam profesi. Profesionalitas yang tinggi ditunjukan dengan adanya
upaya untukl selalu mencapai kualitas dan cita – cita dalam profesi.
Tujuan
layanan bimbingan ialah agar siswa dapat :
- Merencanakan kegiatan
penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang
akan datang.
- Mengembangkan seluruh potensi
dan kekuatan yang dimiliki peserta didik secara optimal.
- Menyesuaikan diri dengan lingkungan
pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya.
- Mengatasi hambatan dan
kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan
pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk :
- Mengenal dan memahami potensi,
kekuatan, dan tugas-tugas perkembangannya.
- Mengenal dan memahami potensi
atau peluang yang ada di lingkungannya,
- Mengenal dan menentukan tujuan
dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut
- Memahami dan mengatasi
kesulitan-kesulitan sendiri.
- Menggunakan kemampuannya untuk
kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat.
- Menyesuaikan diri dengan
keadaan dan tuntutan dari lingkungannya.
- Mengembangkan segala potensi
dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Dalam
mewujudkan pribadi utuh, BK peduli terhadap pengembangan kemampuan nalar yang
motekar atau kreatif untuk hidup baik dan benar. Upaya bimbingan dalam
merealisasikan fungsi-fungsi pendidikan seperti disebutkan terarah kepada upaya
membantu individu, dengan kemotekaran nalarnya, untuk memperhalus (refine),
menginternalisasi, memperbaharui dan mengintegrasi system nilai ke dalam
perilaku mandiri. Dalam upaya semacam itu, BK amat mungkin menggunakan berbagai
metode dan teknik psikologis, untuk memahami dan memfasilitasi perkembangan
individu, akan tetapi tidak berarti bahwa BK adalah psikologi terapan, karena
BK tetap bersandar terarah perkembangan manusia sesuai hakikat
eksistensialitasnya. BK tidak cukup bertopang pada kaidah psikologis melainkan
harus mampu menangkap eksistensi manusia sebagai makhllluk Allah Yang Maha
Kuasa.
Perkembangan
kemandirian terarah kepada penemuan makna diri dan dunia, dan pemaknaan itu
akan beragam sesuai dengan denan persepsi manusia akan diri dan dunianya.
Proses memaknai adalah proses selektif, ditentukan melalui proses memilih, dan
karena itu bangu kehidupan setiap diri manusia akan berbeda. Dalam tataran
pemaknaan yang lebih tinggi akan terjadi makna sinoptik atau trasendensi
lingkungan, yang menggambarkan interaksi individu dengan dunianya tidak lagi
dalam interaksi subyek-obyek, melainkan merupakan hubungan antar subyetivitas,
yakni proses dialog dalam diri.
Proses
memilih adalah proses menimbang berbagai alterbatif, sebuah proses reaktif atau
implusif. Kemandirian berkembang melalui pengembangan kemampuan berpikir,
kreativitas, imajinasi, yang akan membawa manusia kepada pemahaman tentang
perbedaan diri dengan lingkungan dan orang lain, dan keterpautan diri dengan
lingkungan.
0 Response to "Kepribadian Seorang Konselor"
Post a Comment