Terbang Kencer Salah Satu Kebudayaan Daerah Pemalang

PENDAHULUAN

Terbang adalah salah  satu peralatan musik tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat Pemalang, khususnya masyarakat Beji dan Mlaki (Wanarejan). Alat ini terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa (melingkar), kemudian bagian atasnya diberi kulit. Jadi, hampir serupa dengan bedug atau gendang. Bedanya, jika bedug badannya besar dan panjang, kemudian gendang badannya kecil dan sedikit panjang, tetapi terbang badannya sedang (lebih kecil dari bedug tetapi lebih besar dari gendang pada umumnya) dan pendek. Pada badan terbang ada tiga pasang logam (besi putih) yang oleh masyarakat setempat disebut kecrek atau genjring atau kencer, sehingga jika terbang tersebut dibunyikan, tidak hanya mengeluarkan suara yang berasal dari kulit, tetapi juga suara gembrinjing (gemerincing). Oleh karena itu, terbang tersebut dinamakan sebagai terbang kencer atau terbang genjring. Meskipun ada dua nama untuk terbang ini, namun masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai terbang kencer.









BAB II
PEMBAHASAN

Versi Kenceran
Sedikitnya ada dua versi yang berkenaan dengan asal-usul terbang kencer. Versi pertama adalah yang mengatakan bahwa terbang kencer berasal dari suatu daerah yang ada di Jawa Timur. Versi ini sangat erat kaitannya dengan seorang yang bernama Gari (almarhum). Konon, ketika ia masih muda memperdalam agama Islam (mengaji) ke sebuah pesantren yang ada di daerah Jombang (Jawa Timur). Ternyata ia di sana bukannya memperdalam ajaran-ajaran agama Islam, tetapi mempelajari kesenian terbang, sehingga yang diperoleh bukannya ilmu agama tetapi ilmu suatu kesenian yang kemudian disebut sebagai terbang kencer. Ilmu kesenian yang dipelajari dan dikuasai itu kemudian diajarkan kepada para pemuda yang ada di desanya. Salah satu diantaranya adalah Yasin. Saat penelitian ini dilakukan, ia telah berumur 70 tahun. Menurut pengakuannya --ketika berumur 17 tahun-- ia juga pernah memperdalam agama Islam di pesantren Kaliwungu (dekat dengan kota Semarang). Di sana ia sempat belajar selama 3 tahun. Ia adalah seorang pemuda yang aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang menyangkut politik, agama, maupun kebudayaan (kesenian). Dalam bidang politik ia bergabung dengan partai Nahdatul Ulama (NU) dan terdaftar sebagai Pemuda Ansor dan Barisan Serbaguna (Banser). Dalam kesenian ia pernah membentuk suatu organisasi kesenian yang disebut samproh, yaitu suatu kesenian yang ketika itu hanya membutuhkan peralatan: gambus (semacam gitar yang bagian perutnya mengelembung menyerupai kura-kura), piyul (biola), gendang, dan tamburin (kecrek). Dan, ketika penelitian ini dilakukan ia adalah orang yang dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi ketua terbang kencer yang ada di Kelurahan Beji. Ini artinya, terbang kencer yang ada di kelurahan tersebut berasal dari suatu daerah yang berada di Jawa Timur (Jombang).

Versi lain mengatakan bahwa terbang kencer berasal dari desa tetangga (Wanarejan), sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang guru terbang yang berasal dari Keluarahan Beji, yaitu Kambali. Berbeda dengan Yasin, ia belajar terbang kencer bukan pada guru terbang yang ada di desanya, tetapi guru yang ada di lain desa lainnya (Wanarejan) yang bernama Kurdi. Sayangnya ia tidak tahu di mana gurunya belajar terbang kencer, sehingga yang ia tahu terbang kencer berasal dari Wanarejan (Mlaki). Sementara, Kurdi sendiri sudah almarhum (meninggal dunia).

“Yang namanya guru terbang itu banyak dan setiap guru mempunyai daya tarik dan kekhasan tersendiri. Dalam hal terbang kencer saya lebih menyukai gaya Kurdi. Oleh karena itu, saya berguru kepadanya”, demikian katanya.

Lepas dari berbagai versi itu yang jelas bahwa ajaran dari Kurdilah yang kemudian dijadikan sebagai standar untuk terbang kencer yang berada di Kelurahan Beji.






Peralatan
Sesuai dengan namanya, kesenian terbang kencer hanya memerlukan satu jenis alat musik yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “terbang”. Alat ini bentuknya bundar menyerupai piring yang bagian alasnya terbuka. Permukaan bagian atasnya bergaris tengah sekitar 40 centimeter. Permukaan ini ditutup dengan kulit kambing. Jadi, bukan kulit kerbau atau kulit sapi karena kulit mereka lebih tebal ketimbang kulit kambing sehingga jika menggunakannya, suara yang dihasilkannya tidak lebih nyaring dari suara yang dihasilkan dari kulit kambing. Pemasangannya menggunakan perekat (lem), kemudian dipaku dengan paku jamur (paku yang salah satu ujungnya menyerupai bintang). Tampaknya tidak semua orang dapat memasangnya, tetapi ada ahlinya. Oleh karena itu, jika ada kerusakan dan memang harus diganti kulitnya, maka mesti dibawa ke ahlinya yang berada di luar daerah.

“Ada dua tempat pemasangan kulit terbang, satu di daerah Bantarbolang (Pemalang Selatan) dan satu lagi ada di desa Waru daerah Tegal. Namun demikian, teman-teman lebih suka ke Tegal karena hasilnya lebih baik”, demikian kata salah seorang pemainnya.

Bahan pembuatan terbang kencer yang hanya berupa kayu sawo, kulit kambing, paku jamur, dan rotan memang relatif mudah diperoleh. Namun demikian, di Kelurahan Beji tidak ada ahlinya, sehingga mau tidak mau harus memesan atau membeli di daerah Tegal. Demikian juga, jika permukaan terbang yang terbuat dari kulit kambing rusak, maka mau tidak mau juga ke tempat yang sama, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan, bagian bawah terbang bergaris tengah sekitar 35 centimeter. Jadi, semakin ke bawah semakin menyempit. Badan terbang terbuat dari jenis kayu tertentu, yaitu kayu sawo karena jenis kayu ini disamping keras, kuat, dan tidak mudah retak, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah dapat menimbulkan gaung (efek suara) yang bagus. Pada badan terbang yang semakin ke bawah semakin kecil itu ada tiga lubang yang berukuran tinggi 1 centimeter dan panjang 11 centimeter dengan posisi mendatar. Jarak antara lubang yang satu dan lainnya sama. Di setiap lubang ada dua buah logam yang berbentuk bundar dan pipih menyerupai compac disc (CD) atau digital video disc (DVD) yang terbuat dari nekel (besi putih). Alat ini disebut kecrek atau kencer. Jika terbang ditabuh maka alat ini akan menimbulkan suara gembrinjing (gemerincing). Bunyi inilah yang kemudian membuat terbang tersebut, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, disebut sebagai “terbang grinjing” atau “terbang kencer”. Selain kecrek, terbang juga dilengkapi dengan rotan yang melingkar di dalamnya (di bawah kulit terbang) yang disebut sentek. Garis tengahnya kurang lebih sama dengan garis tengah terbang. Alat ini dimasukkan atau diselipkan pada celah antara kulit dan bagian permukaan bawah terbang. Fungsinya untuk mengencangkan kulit terbang, sehingga suaranya sesuai dengan yang diinginkan (lantang). Jika terbang tidak digunakan (disimpan), alat ini dicopot dan dibiarkan ada dalam terbang. Agar terbang tidak cepat rusak atau berdebu, maka sebelum disimpan dimasukkan dalam sebuah kantong yang terbuat dari kain.

Sebuah terbang kencer beratnya kurang lebih 2 kilogram. Ketika digunakan terbang tersebut diletakkan di atas tangan kiri dengan posisi tangan membentuk sudut 30--40. Jika dalam dalam ruangan, maka posisi duduknya seperti duduknya sinden (bersimpuh). Akan tetapi, jika dalam arak-arakan (dalam lapangan) posisinya berdiri karena harus berjalan menyusuri route yang telah ditetapkan. Beratnya terbang sebenarnya bukan menjadi masalah karena jika pemainnya kecapaian ada penggantinya. Namun demikian, karena satu dan lain hal ada juga pemaian yang sebenarnya sudah sangat capai tetapi oleh ketuanya belum diganti juga. Hal ini pernah dialami oleh salah seorang pemain.

“Ketika itu ada acara khataman di desa Taman dan kami diundang untuk mengaraknya. Oleh karena route-nya cukup jauh, kurang lebih 2 kilometer, ada diantara kami, termasuk saya, merasa lelah. Teman saya diganti, tetapi saya tidak. Meskipun demikian, saya diam saja. Sebenarnya saya jengkel (marah), tetapi kemarahan itu terobati karena begitu acara selesai Sang ketua menjelaskan bahwa jika saya diganti permainan tidak begitu menarik”, demikian katanya.
Di masa lalu perlatan terbang kencer hanya sejumlah terbang (4 buah). Kemudian, biar kelihatan lebih semarak ditambah dengan bedug, khususnya ketika arak-arakan. Bedug tersebut diboncengkan sepeda karena ukurannya lebih besar (kurang lebih garis tengahnya 60 centimeter), sehingga jika dibawa dengan tangan relatif berat. Jadi, ada orang yang menuntun sepeda dan ada orang yang berperan sebagai penabuh. Dewasa ini bedug tersebut telah diganti bedug drumband. Alasannya adalah disamping praktis membawanya (tidak perlu dengan sepeda), tetapi biar kelihatan lebih canggih (modern).

Sebagai catatan, di masa lalu terbang kencer dipentaskan bersamaan dengan terbang jawa. Akan tetapi, sekarang hanya cukup sendirian karena terbang jawa telah punah (tidak ada penerusnya). Sebenarnya ketuanya (Serye) berusaha keras mengkader generasi muda agar kelak dapat menggantikannya. Namun, usaha itu sia-sia. Anak-cucunya tak satu pun tidak ada yang berminat. Hal itu disebabkan adanya anggapan bahwa terbang jawa.adalah terbang-nya orang-orang tua. Selain itu, lebih rumit ketimbang terbang kencer sebagaimana yang dikemukakan Kambali ketika mempelajarinya.

“Waktu itu saya dikader oleh Side (Mbah) Serye. Caranya adalah dengan mengikuti pergelaran. Namun demikian, saya bersama seorang teman (Abdullah) tidak tahan; bukan karena pergelaran sampai semalam suntuk, tetapi caranya nabuh dirasa rumit (sulit). Selain itu, harus mempunyai suara yang melengking. Untuk itu, saya bersama teman saya berhenti”, demikian katanya.

Pemain
Pemain terbang kencer minimal berjumlah 4 orang. Jumlah ini ada kaitannya dengan peranan pemain dalam kesenian terbang kencer itu sendiri. Dalam konteks ini ada yang berperan sebagai: telon, banggen, kapat, dan pajek. Masing-masing mangkon terbang tersendiri. Oleh karena itu, dalam suatu pelatihan atau petunjukkan yang hanya dilakukan oleh 4 orang pemain disebut sepangkon. Demikian juga terbang-nya yang berjumlah 4 buah itu disebut terbang sepangkon. Disebut demikian karena pada saat terbang itu tidak dibunyikan (ditabuh dengan telapak tangan), ia ditaruh di atas pangkuan. Group kesenian terbang kencer Keluarahan Beji memiliki 8 buah terbang (rong pangkon). Jika dalam suatu pelatihan dan atau pergelaran ke-8 terbang tersebut digunakan, maka disebut rong pangkon. Meskipun pemainnya ada 8 orang bukan berarti bahwa ketukan yang dilakukan oleh setiap orang berbeda, tetapi sama seperti sepangkon. Jadi, setiap peran dilakukan oleh 2 orang (telon, banggen, kapat, dan pajeg dilakukan oleh 2 orang pemain). Selain pengetuk terbang, ada 3 orang lagi yang berperan sebagai penjawab (pelantun lagu) dan sekaligus ebagai pengganti jika ada salah seorang pengetuk terbang yang karena satu dan lain hal harus diganti (capai misalnya). Lagu-lagu yang dilantunkan bersumber pada kitab Barzanji yang berbahasa Arab. Dengan demikian, secara keseluruhan jumlah pemainnya ada 11 orang. Rangkaian dan ketukan antarpemain yang berbeda itu pada gilirannya membuat satuan bunyi yang khas. Bunyi ini tidak akan terwujud jika ada ketukan yang tidak pas (keliru). Untuk itu, setiap pemain harus betul-betul menguasainya.

Untuk dapat menguasai seluruh ketukan terbang kencer, baik itu telon, banggen, kapat, maupun pajek dibutuhkan keminatan, keseriusan, dan kegigihan. Yasin, ketua perkumpulan terbang kencer Beji, mengatakan bahwa suatu saat ada pemuda yang berminat mempelajarinya. Namanya Untung Urip Wibowo yang ketika tulisan ini dibuat yang bersangkutan sudah meninggal karena kecelakaan. Ia adalah seorang penggendang dan penabuh drum yang cukup terkenal di Pemalang. Ia beranggapan bahwa memainkan terbang kencer lebih gampang ketimbang menabuh gendang dan atau drumband. Alhasil, ia pun mempelajarinya. Dan, ternyata terbang kencer lebih rumit ketimbang menabuh gendang dan atau drum. Akhirnya, ia tidak melanjutkan alias menyerah.

Selain Untung Urip Wibowo ada juga pemuda lain yang ingin mempelajarinya, yaitu Mustari (sekarang berumur 53 tahun dan bekerja di Kelurahan Beji dengan kedudukan sebagai Kasi Pemerintahan). Ia pernah menekuni terbang kencer selama satu tahun, tetapi belum menguasasi seluruhnya. Ia sebenarnya orang yang sangat berminat kepada semua kesenian. Namun demikian, ia lebih memilih mempelajari terbang kencer karena sangat erat kaitannya dengan agama Islam. Hal ini tercermin dari jawaban atau lagu-lagu yang dilantunkan bersumber pada kitab barzanji dan dziba. Menurutnya kesenian seperti “Orkes Melayu” (ndangndut) dan group-groub band relatif lebih mudah untuk dipelajari ketimbang terbang kencer. Dalam terbang kencer antara ketukan terbang dan jawaban harus pas. Oleh karena itu, orang yang tidak tahu bacaan barzanji dan atau dziba semakin sulit untuk mempelajarinya.

Menjadi pemain terbang kencer selain harus berani kerja keras, keseriusan, dan tidak berputus asa, serta ada bakat seni, juga yang tidak kalah pentingnya adalah tidak mempunyai rasa malu, sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang yang prihatin tentang keberadaan terbang kencer karena generasi muda enggan untuk mempelajarinya. Sampai-sampai ia menjelaskan bahwa untuk belajar terbang kencer tidak perlu mengeluarkan biaya. Namun demikian, tidak ada anak muda yang berminat. Pada umumnya mereka malu mempelajari terbang kencer karena dianggap kuno dan kampungan.

“Ini artinya zaman sudah terbalik. Di zaman sekarang jika anak muda mendengar tape recorder, maka mereka akan mendatangi dan gengsot (joget ndangndud) disana. Padahal, di zaman saya masih remaja, saya malu ber-gengsot tetapi tidak malu nabuh terbang. Malah, ada kebanggaan tersendiri. Akan tetapi, sekarang anak muda malu untuk nabuh terbang, tetapi tidak malu gengsot”.









Kostum
Kostum yang dikenakan oleh para pemain dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Di masa lalu mereka berkemeja putih, bersarung palekat, berjas dan berkopiah (pecis). Kemudian, pernah juga mereka berkemeja, bersarung byur1 dan berkopiah (pecis). Sekarang mereka berbaju muslim (tanpa leher), bersarung byur dan tetap berkopiah. Alasannya adalah lebih leluasa dan praktis.

“Memakai jas memang kelihatan lebih rapih dan gaya. Akan tetapi, gerakan tangan tidak leluasa. Dengan berkemeja agak lebih leluasa, tetapi lebih leluasa memakai baju muslim karena baju ini cukup longgar. Makanya, kami memutuskan untuk memakai baju muslim; lebih parkatis”, kata salah seorang informan.

Dewasa ini Perkumpulan terbang Beji yang dipimpin oleh Yasin memiliki 6 stel seragam yang warnanya berbeda-beda. Dengan demikian, dalam setiap kesempatan (pementasan) bisa menampilkan seragan dengan warna yang berbeda dari pementasan sebelumnya.








Tempat dan Pementasan
Kesenian tradisional masyarakat Pemalang yang disebut sebagai terbang kencer tidak membutuhkan tempat atau ruangan yang luas serta panggung. Ia bisa dilakukan di lantai ruang tamu yang dialasi dengan tikar. Malahan, ketika arak-arakan dalam rangka khajatan seseorang atau kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari besar keagamaan (Islam) atau hari-hari besar nasional 17 Agustusan, cukup memainkankannya dengan berjalan.

“Dahulu penganten jika tidak diarak seakan-akan belum sempurna, tetapi sekarang malah tidak mau diarak karena malu. Jadi, sekarang yang diarak adalah anak yang akan disunat. Selain itu, anak-anak yang katam Al Quran”, kata salah seorang pemainnya. “Dahulu setiap tahun sekali ada perlombaan terbang kencer. Jumlahnya puluhan karena hampir setiap desa mengikutinya. Yang dinilai antara lain: kerapian (kostum), ketepatan tutukan, dan kesesuaian nada suara. Perlombaan dilakukan di Mesjid Raya Pemalang”. Namun, sekarang perlombaan tidak pernah ada lagi”, demikian katanya lebih lanjut.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pemain terbang kencer terdiri atas pemain yang berperan sebagai: telon, banggen, kapat, dan pajek. Telon (bahasa Jawa) berarti “tiga”. Namun demikian, dalam permainan terbang kencer justeru pemeran telon menjadi sangat penting karena ketukannya menjadi pembuka dalam penerbangan. Ketukan tersebut disusul dengan ketukan pemegang banggen, lalu kapat dan diikuti dengan pajek. Pajek dalam suatu permainan terbang kencer dapat dikatakan hanya sebagai pelengkap. Dalam konteks ini ia hanya mengikuti akhir dari rangkain bunyi yang dihasilkan oleh pemegang telon, banggen, dan kapat. Jadi, jika akhiran itu berbunyi “tong”, maka ia akan “mengetong”. Demikian juga jika akhiran itu berbunyi “ding”, maka ia akan “mengeding”. Oleh karena itu, di kalangan penerbang ada semacam guyon (gurauan) bahwa pemajeg diibaratkan sebagai “anak bawang” karena tanpa pajeg permainan terbang kencer tetap berjalan. Hanya saja kumandang-nya (gema bunyi terbang) tidak sempurna. Selain itu, biasanya para penerbang berusaha untuk menguasai berbagai ketukan terbang, baik itu telon, banggen, maupun kapat, termasuk para pemain lainnya yang berperan sebagai penjawab (pelantun lagu-lagu pengiring). Sebab, jika ada yang kecapaian atau berhalangan hadir, maka menggantinya.
















Lagu-lagu yang Dilantunkan
Lagu-lagu yang dilantunkan dalam pergelaran terbang kencer bersumber pada kitab Barzanji. Ada 7 pasal yang dilantunkan, yaitu: (1) Ashola tuala nabi, (2) Salatun, (3) Subhanama, (4) Sayidi, (5) Shola alaika, (6) Budad, dan (7) Sakratul ya nabi. Ke-7 pasal itu dilantunkan oleh 3 orang secara bersama-sama dan bersamaan dengan pengetukan terbang. Di kalangan mereka para pelantun itu disebut sebagai penjawab. Adakalanya pengetuk terbang juga ikut melantunkannya, terutama bagi yang sudah ahli (biasanya ketuanya). Selain ke-7 pasal tersebut ada pasal-pasal lain yang tidak dilantunkan, tetapi cukup hanya dibaca. Pada saat-saat seperti itu terbang tidak diketuk, sehingga yang terdengar hanya suara si pembaca. Pembacaan tidak dilakukan secara bersama-sama, tetapi salah seorang yang ditugasi oleh ketuanya (biasanya orang fasih pengucapannya dan suaranya bagus).












KESIMPULAN
Terbang adalah salah  satu  peralatan musik tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat Pemalang, khususnya masyarakat Beji dan Mlaki (Wanarejan). Alat ini terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa (melingkar), kemudian bagian atasnya diberi kulit. Jadi, hampir serupa dengan bedug atau gendang
Sedikitnya ada dua versi yang berkenaan dengan asal-usul terbang kencer. Versi pertama adalah yang mengatakan bahwa terbang kencer berasal dari suatu daerah yang ada di Jawa Timur.Versi lain mengatakan bahwa terbang kencer berasal dari desa tetangga (Wanarejan), sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang guru terbang yang berasal dari Keluarahan Beji, yaitu Kambali.
Terbang adalah  alat yang  bentuknya bundar menyerupai piring yang bagian alasnya terbuka. Permukaan bagian atasnya bergaris tengah sekitar 40 centimeter. Permukaan ini ditutup dengan kulit kambing
Pemain terbang kencer minimal berjumlah 4 orang. Jumlah ini ada kaitannya dengan peranan pemain dalam kesenian terbang kencer itu sendiri. Dalam konteks ini ada yang berperan sebagai: telon, banggen, kapat, dan pajek
Kostum yang dikenakan oleh para pemain dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Di masa lalu mereka berkemeja putih, bersarung palekat, berjas dan berkopiah (pecis). Kemudian, pernah juga mereka berkemeja, bersarung byur1 dan berkopiah (pecis). Sekarang mereka berbaju muslim (tanpa leher), bersarung byur dan tetap berkopiah. Alasannya adalah lebih leluasa dan praktis.
Kesenian tradisional masyarakat Pemalang yang disebut sebagai terbang kencer tidak membutuhkan tempat atau ruangan yang luas serta panggung. Ia bisa dilakukan di lantai ruang tamu yang dialasi dengan tikar. Malahan, ketika arak-arakan dalam rangka khajatan seseorang atau kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari besar keagamaan (Islam) atau hari-hari besar nasional 17 Agustusan, cukup memainkankannya dengan berjalan.
Lagu-lagu yang dilantunkan dalam pergelaran terbang kencer bersumber pada kitab Barzanji. Ada 7 pasal yang dilantunkan, yaitu: (1) Ashola tuala nabi, (2) Salatun, (3) Subhanama, (4) Sayidi, (5) Shola alaika, (6) Budad, dan (7) Sakratul ya nabi. Ke-7 pasal itu dilantunkan oleh 3 orang secara bersama-sama dan bersamaan dengan pengetukan terbang


Share :

Facebook Twitter Google+

0 Response to "Terbang Kencer Salah Satu Kebudayaan Daerah Pemalang"

Post a Comment

Entri Populer

Blog Archive